Wahai perempuan yang kisah di bibirnya mencumbu waktuku | Ku baca ulang cerita yang dulu untukmu ku bacakan di bawah akassia di taman rupa | Tentang sepasukan kura-kura mengejar kelinci yang melompat-lompat tak hingga | Hingga tawamu mengunci waktu hanya untuk kita saja | Aku tersenyum, sesekali tertawa
Wahai perempuan yang teduh tatapnya meninabobokan amarah | Aku kini insan seribu nama
Hidup di banyak tempat dengan rupa jiwa berbeda | Kecuali untukmu, satu nama ku sisihkan
Nama yang riang sekaligus tenang | Demi senyum yang esok semoga akan kau gariskan
Atau tawa yang akan mencumbu waktuku lagi | Esok dan nanti
Wahai perempuan yang untuknya kuberikan seribu penggal cerita | Ku jamu lagi wanitaku dengan jamuan-jamuan terindah | Dengan anggur yang ku petik sendiri di kebun ayahku | Juga teh pahit yang ku seduh sendiri dari teko milik ibuku | Dan sedikit perbincangan yang tak pernah renyah | Tapi kau tetap perempuan yang di bibirnya tak henti melagukan kisah untukku | Seperti janjimu tentang esok pagi yang akan selalu datang lagi | Dan detik yang terus berlari | Menerus
Esok hari | Bersama pagi aku 'kan datang mengetuk pintu rumah hatimu lagi
No comments:
Post a Comment