Siapa yang tidak akan bosan dengan hidup yang seperti ini? Setiap hari hanya duduk di kursi yang sama, dengan tangan memegang mouse yang sama, di depan layar monitor yang sama, dan di dalam ruang yang sama.
Apalagi kalau ditambah dengan pendapatan yang semakin berkurang. Juga dengan tampang sinis pelanggan yang datang hanya karena suhu ruangan yang sedikit panas. Ah, aku bosan.
Tapi, adakah yang lebih tidak beruntung dari aku sekarang? Selalu pertanyaan yang sama, jika harus menghitung kemalangan-kemalangan itu, yang menyebabkan adanya kewajiban-kewajiban membosankan tetapi harus, seperti yang terjadi hari ini. Ditambah hambatan-hambatan belajarku, yang membuatku sedikit terlambat menyelesaikan kuliahku. Ah, semua hanya karena pekerjaan ini. Dan adakah yang lebih tidak beruntung dari aku hari ini? Sesaat aku berfikir tidak ada.
Hingga aku menatap ke luar. Memandang lurus menembus kaca pintu.
Dan di sana kudapati seorang becak berteduh di bawah pohon pakis muda yang masih kecil. Topi capingnya dikibaskan di depan wajahnya yang mengkilat oleh keringat. Lelah sekali sepertinya, tapi begitu damai.
Ah, lalu aku kembali memalingkan wajahku darinya. Kembali kutatap layar monitor yang sama, melanjutkan mengetik baris-baris tulisan ini.
Dan aku sadar, haruskah aku bersedih? Haruskah aku muak pada diriku sendiri? Pada keadaan ini? Aku masih jauh lebih beruntung dari dia yang sedang berteduh di luar dengan topi caping sebagai kipasnya. Jauh lebih beruntung. Ya, lebih beruntung.
Lalu aku ingat kata guru Agama di sekolahku, "Dia tidak akan memberi sesuatu melebihi batas kemampuan kita". Dan aku percaya itu.
Dan aku juga percaya, semuanya akan tiba pada saatnya.
Salam, dari tanah panas, hujan, debu, dan puting beliung, Makassar
Saya, Mus~
Apalagi kalau ditambah dengan pendapatan yang semakin berkurang. Juga dengan tampang sinis pelanggan yang datang hanya karena suhu ruangan yang sedikit panas. Ah, aku bosan.
Tapi, adakah yang lebih tidak beruntung dari aku sekarang? Selalu pertanyaan yang sama, jika harus menghitung kemalangan-kemalangan itu, yang menyebabkan adanya kewajiban-kewajiban membosankan tetapi harus, seperti yang terjadi hari ini. Ditambah hambatan-hambatan belajarku, yang membuatku sedikit terlambat menyelesaikan kuliahku. Ah, semua hanya karena pekerjaan ini. Dan adakah yang lebih tidak beruntung dari aku hari ini? Sesaat aku berfikir tidak ada.
Hingga aku menatap ke luar. Memandang lurus menembus kaca pintu.
Dan di sana kudapati seorang becak berteduh di bawah pohon pakis muda yang masih kecil. Topi capingnya dikibaskan di depan wajahnya yang mengkilat oleh keringat. Lelah sekali sepertinya, tapi begitu damai.
Ah, lalu aku kembali memalingkan wajahku darinya. Kembali kutatap layar monitor yang sama, melanjutkan mengetik baris-baris tulisan ini.
Dan aku sadar, haruskah aku bersedih? Haruskah aku muak pada diriku sendiri? Pada keadaan ini? Aku masih jauh lebih beruntung dari dia yang sedang berteduh di luar dengan topi caping sebagai kipasnya. Jauh lebih beruntung. Ya, lebih beruntung.
Lalu aku ingat kata guru Agama di sekolahku, "Dia tidak akan memberi sesuatu melebihi batas kemampuan kita". Dan aku percaya itu.
Dan aku juga percaya, semuanya akan tiba pada saatnya.
Salam, dari tanah panas, hujan, debu, dan puting beliung, Makassar
Saya, Mus~
1 comment:
best regards, nice info » » »
Post a Comment