Sudahkah engkau tidur malam ini, sayang? Biar suara gerimis yang jatuh sedikit-sedikit di atas daun kujadikan nyanyian pembuka mimpi-mimpimu yang indah malam ini kalau begitu.
Mimpi tentang roman Rama Sinta, Ali dan Zahra, atau tentang perlawanan David pada Goliath.
Aku tidak pernah suka gerimis sebenarnya. Dia dingin seperti mati, itu sebabnya aku tidak pernah menyukainya. Seperti ayah juga tidak menyukainya karena aku tak bisa disuruhnya membeli rokok untuk dihisap sembari sarapan esok-esok pagi dengan secangkir teh panas pekatnya.
Tapi gerimis itu indah.
Apalagi siang tadi.
Mereka, gerimis-gerimis itu, menjebak, mengurung kita dengan dinginnya. Dengan basahnya. Lama.
Mereka lupa aku sudah tidak lagi mampu mengangkat kepalaku tegak siang tadi. Aku harusnya tidur saja dan bermain-main dengan lelap dan mata terpejam.
Tapi kau ada di sana. Aku bertahan, berharap aku dapat mengangkat kepalaku sedikit lebih lama dan tetap membuka mata sebentar-sebentar, demi mendengar satu-satu celoteh dari suara kecilmu.
Dan kau bercerita, tentang rumah, tentang kamar-kamar, atau tentang bah yang datang setelah hujan lama memandikan tanah. Juga sesekali bercerita tentang sajak, tentang warna, dan tentang gerimis.
Lalu kau antarkanku pulang setengah jalan. Menatap kebawah, dalam, dan menatap ke atas sebentar, membiarkan gerimis tipis menghujam lembut wajahku. Dan ku dengar kau berbisik, 'gerimis ini milikku, sayang. indah, bukan?'
No comments:
Post a Comment