Tidurku terasa singkat dan dangkal sekali untuk mimpi sedalam itu. Sedalam mimpi semalam.
Di depanku ada pintu putih besar. Gerbang. Putih, bercahaya, terkadang menyilaukan.
Aku berdiri, terdiam, beberapa belas langkah di depan pintu itu.
Di depan gerbang putih besar itu, ada sosok tegap, bercahaya, dan berbaju putih. Aku tidak bisa meyakinkan diriku, dia adalah seorang pria atau wanita. Ia memegang sebuah tongkat kayu di lengan kiri, juga sebuah buku, kitab tebal di lengan kanannya. Siapakah dia, aku bertanya dalam hati.
Aku terdiam. Aku melihat ke sekelilingku. Tiada orang lain, kecuali seorang laki-laki yang terdiam, lesu berdiri di belakangku. Di wajahnya penuh ketakutan. Aku mengenalnya. Dekat. Dekat sekali.
Aku mengenal tubuhnya kurusnya. Aku mengenal kulit gelapnya. Aku mengenal rambut kusamnya. Aku mengenal pakaian lusuhnya. Aku bahkan mengenal topi hitam yang selalu dipakainya. Aku mengenalnya.
Tapi mengapa ia tampak sangat sedih dan lesu?
Dan kembali aku menatap ke arah gerbang putih besar. Dan sosok di depan pintu itu menghadap ke arahku. Oh, bukan. Bukan ke arahku. Ke arah kami. Ke arah laki-laki di belakangku.
Aku kembali melihat ke belakang, si laki-laki kurus itu tampak semakin ketakutan. Tampak sekali ia ingin berlari. Tapi aku yakin, kakinya tidak mampu dilangkahkan.
Dan sosok di depan pintu itu semakin memanggil dengan gerakan tangan tangannya. Bukan memanggilku, tapi memanggil orang di belakangku. Aku yakin itu.
Tapi mengapa? Aku tidak tahu.
Dan seketika itu pula, tubuhku tersentak. Tubuhku seperti ditembus oleh sesuatu, hingga aku sadari sebuah topi hitam terjatuh di depan kakiku, dan ku lihat sebuah bayangan melayang menjauh dariku, ke arah pintu itu. Aku melihatnya, si laki-laki kurus --bayangannya-- itu kini berjalan melayang menuju ke pintu putih besar. Ia melayang menghadap ke belakang, menghadapku, dan tidak mau melepas tatapannya, menatapku. Dan kemudian air matanya jatuh. Namun wajahnya tidak lagi sedih. Aku tidak begitu yakin.
Yang aku yakin adalah, bahwa ia baru saja mengatakan kepadaku;
"Selamat tinggal, Sayang. Selamat tinggal. Jangan aku dirindukan. Jika tiba waktunya kembali, aku pasti akan kembali. Selamat tinggal."
--Sebagai dia
Di depanku ada pintu putih besar. Gerbang. Putih, bercahaya, terkadang menyilaukan.
Aku berdiri, terdiam, beberapa belas langkah di depan pintu itu.
Di depan gerbang putih besar itu, ada sosok tegap, bercahaya, dan berbaju putih. Aku tidak bisa meyakinkan diriku, dia adalah seorang pria atau wanita. Ia memegang sebuah tongkat kayu di lengan kiri, juga sebuah buku, kitab tebal di lengan kanannya. Siapakah dia, aku bertanya dalam hati.
Aku terdiam. Aku melihat ke sekelilingku. Tiada orang lain, kecuali seorang laki-laki yang terdiam, lesu berdiri di belakangku. Di wajahnya penuh ketakutan. Aku mengenalnya. Dekat. Dekat sekali.
Aku mengenal tubuhnya kurusnya. Aku mengenal kulit gelapnya. Aku mengenal rambut kusamnya. Aku mengenal pakaian lusuhnya. Aku bahkan mengenal topi hitam yang selalu dipakainya. Aku mengenalnya.
Tapi mengapa ia tampak sangat sedih dan lesu?
Dan kembali aku menatap ke arah gerbang putih besar. Dan sosok di depan pintu itu menghadap ke arahku. Oh, bukan. Bukan ke arahku. Ke arah kami. Ke arah laki-laki di belakangku.
Aku kembali melihat ke belakang, si laki-laki kurus itu tampak semakin ketakutan. Tampak sekali ia ingin berlari. Tapi aku yakin, kakinya tidak mampu dilangkahkan.
Dan sosok di depan pintu itu semakin memanggil dengan gerakan tangan tangannya. Bukan memanggilku, tapi memanggil orang di belakangku. Aku yakin itu.
Tapi mengapa? Aku tidak tahu.
Dan seketika itu pula, tubuhku tersentak. Tubuhku seperti ditembus oleh sesuatu, hingga aku sadari sebuah topi hitam terjatuh di depan kakiku, dan ku lihat sebuah bayangan melayang menjauh dariku, ke arah pintu itu. Aku melihatnya, si laki-laki kurus --bayangannya-- itu kini berjalan melayang menuju ke pintu putih besar. Ia melayang menghadap ke belakang, menghadapku, dan tidak mau melepas tatapannya, menatapku. Dan kemudian air matanya jatuh. Namun wajahnya tidak lagi sedih. Aku tidak begitu yakin.
Yang aku yakin adalah, bahwa ia baru saja mengatakan kepadaku;
"Selamat tinggal, Sayang. Selamat tinggal. Jangan aku dirindukan. Jika tiba waktunya kembali, aku pasti akan kembali. Selamat tinggal."
--Sebagai dia